KUMPULAN CERITA FABEL
TERBAIK
Gajah Yang Jujur
Di negeri gajah, hiduplah sepasang gajah. Gajah itu
bernama Arine dan Ronald. Dari hubungan Arine dan Ronald, lahirlah dua ekor
gajah. Gajah itu bernama si Elie. Elie mempunyai seorang adik yang bernama
Pitie. Pitie sering dimarahi dengan orang tuanya karena sering berbohong.
Sedangkan Elie, seekor gajah yang jujur. Elie sering dibanggakan oleh semua
orang terkecuali adiknya. Meskipun Elie dibanggakan oleh semua orang, ia tidak
sombong. Ia menghahargai orang lain. Itulah mengapa si Pitie iri kepada
kakaknya. Elie yang mengetahui seperti itu, terkejut. Ia memberitahu kepada
adiknya bahwa semua orang memang berbeda. Tetapi, Pitie menghiraukan perkataan
kakaknya.
Suatu hari, Elie mendapatkan rumput yang sangat
banyak. Rumput itu kesukaan adiknya. Pitie, adiknya menjadi mempunyai rencana.
Akhirnya, rumputnya ia pindahkan kepada rumput kakaknya secara diam-diam.
Seolah-olah ia tidak tahu. Setelah waktunya makan malam, Pitie tiba-tiba
berteriak: “Ibu, kakak telah mencuri rumputku!”. Lalu, Elie yang mendengar itu
terkejut. Mencuri?, lalu, Ayah kedua anak itu datang. Ayah itu bertanya kepada
mereka: “Apa benar Pitie, kalau kakakmu mencuri rumput kesayanganmu?” Lalu,
balas Pitie: “Ya Ayah, kakak telah mencuri rumputku!” Lalu, Elie dengan berani
berkata “Tidak, Aku tidak mencurinya.” Setelah itu, Mama menatap tajam kepada
Pitie, lalu dengan tegas berkata kepadanya “Pitie, apakah itu benar?” Tiba-tiba
Elie berkata kepada Mamanya: “Ma, apakah mama menambah rumputku malam ini?”
Lalu, dengan balasan terkejut Ibunya berkata “Tidak sayang”.
“Kamu sudah bilangkan, kalau kamu tak mau makan
banyak?” Lalu, akhirnya tetengga memberitahu Ibu, kalau Pitie berbohong.
Akhirnya, Pitie di hukum, kalau ia tidak boleh memakan rumput banyak-banyak.
Setelah kejadian itu, Pitie berjanji bahwa tak akan berbohong lagi.
=================================================================
Arti Sahabat
Disebuah hutan belantara yang begitu luas tumbuhlah
sebuah pohon yang begitu rindang, daunnya begitu lebat, buah banyak ranum
berwarna kuning keemasan..
Pada suatu hari seekor burung Jalak sedang terbang
dan hinggap di dahan pohon tersebut, ia berkicau memuji keindahan pohon
tersebut “… wahai pohon begitu sempurna Tuhan menciptakanmu, kamu dianugrahi
daun yang begitu lebat, batang yang kuat, buah yang berwarna-warni, bolehkah
aku tinggal bersamamu untuk menikmati betapa segarnya buahmu…” Pohon itu
menjawab “… wahai burung jalak tinggallah kau sesukamu, kau tinggal pilih buah
mana yang kau suka…” Burung Jalakpun tinggal di pohon itu.
Tak lama kemudian datanglah burung Kenari dengan
lantang dan dengan merdunya iapun memuji pohon itu “… Wahai pohon yang penuh
dengan rahmat Tuhan, bolehkah aku tinggal bersamamu untuk sama-sama menikmati
indahnya anugrah yang kuasa, begitu sempurna Tuhan memberikan karunia-Nya
padamu…” Pohon itu merasa tersanjung dengan pujian burung kenari, iapun
mempersilahkan tinggal didahannya.
Selang beberapa hari datanglah burung Pelatuk,
tanpa basa-basi ia langsung mematuk dahan & ranting pohon itu, pohon itu
menjerit kesakitan “hai.. pelatuk pergi kau dari tempatku, kau telah membuatku
sakit… pergi kau ..” Burung pelatuk itu menjawab “.. wahai pohon, di dalam
tubuhmu ada ulat aku harus mematuknya supaya kamu tidak sakit…” “…Tidak… pergi
kau…!!! aku tidak butuh kamu, kamu hanya bikin aku sakit…” bentak pohon itu
kepada burung pelatuk, burung pelatuk pun pergi meninggalakn pohon itu.
Tidak berapa lama kemudian pohon itu sakit, layu,
daunnya yang dulu lebat kini kering kerontang, buahnya yang dulu ranum kuning
keemasan dan menyegarkan kini jatuh berguguran.. burung jalak dan kenari yang
biasanya tiap hari bernyanyi kini pergi meninggalkannya, pohon itu menangis
kesakitan karena di makan ulat. Saat itulah burung Pelatuk datang “… wahai
pohon tahanlah rasa sakitmu aku akan mengeluarkan ulat dalam tubuhmu, Burung
pelatuk terus mematuk dahan dan batang pohon yang digerogoti ulat, meski
kesakitkan ia biarkan burung pelatuk, mematuk dahan dan batangnya..
Akhirnya pohon itu kembali tumbuh, daun-daunnya
mulai lebat, buah-buahnya mulai tumbuh…
Dari penggalan kisah diatas ada sebuah hikmah yang
bisa kita petik :
“Seorang sahabat sejati akan selalu ada dikala kita
susah, meski saat kita bahagia kita melupakannya, kadang sebuah kritikan,
komplain yang ia berikan kepada kita adalah sebuah koreksi, peringatan bagi
kita agar kita tidak salah dalam melangkah, namun kita tidak menyadari itu,
kita justru terlena dengan sanjungan yang diberikan kepada kita yang justru itu
menjadikan kita terpuruk, Sahabat sejati akan selalu ada dikala kita sedang susah,
dia selalu memberikan inspirasi dan semangat kepada kita untuk berbenah, namun
seorang teman ia hadir dikala kita sedang bahagia dan ia pergi dikala kita
dahaga..”
=================================================================
Mimpi Anak Gajah
Sore itu aku telah menghabiskan seember rumput,
hingga akhirnya mataku terasa berat saat malam menjelang. Sebelum aku tidur,
mataku masih memandang gelapnya keadaan sekitar. Aku melihat ibuku tengah
berbincang dengan teman-temannya. Badan ibu tampak lebih kecil dari mereka.
Malam semakin pekat warna hitamnya, benar-benar
menggodaku untuk istirahat lebih cepat. Ku lihat mata ibu memandang ke arahku,
dan mengisyaratkan agar aku segera tidur. Aku membalasnya dengan anggukan.
“Selamat malam ibu..”
Cerpen Mimpi Anak Gajah
“Naakk… ayo cepat larinya yang kencang!” teriak Ibu
yang tengah berlari kencang, melintasi rumput-rumput tebal.
Siang itu semakin terik rasanya, keringat
membanjiri tubuhku. Nafasku sudah tak beraturan. Kakiku yang besar mencoba
terus melangkah lebih lebar dari biasanya. Sesekali aku mengeluh dalam hati,
“Tuhan! Kenapa mereka mengejar kami.. Tuhan! Aku takut..”
Keluhanku hanya ku utarakan dalam hati. Sebab, ibu
pernah bilang kalau mengeluh itu tak ada gunanya. Karena, yang lebih berguna
saat terdesak seperti siang ini adalah berlari!
“Ibu… tunggu..” teriakku.
Aku melihat saudara-saudaraku juga ikut berlari,
sekencang mungkin. Hingga membuat tanah itu bergetar, karena badan kami yang
besar. Aku benar-benar kelelahan, hampir saja putus asa lalu berhenti. Tapi,
aku takut tertangkap oleh jaring besar ataupun peluru yang diarahkan padaku
oleh mereka. Mereka yang selalu saja mengejar untuk mengambil gading kami.
“Ibu… ibu, ibu dimanaa..?”
Aku mulai panik. Aku tak mendapati ibuku. Ia
menghilang dari pandanganku. Apa karena kakiku yang tak sanggup mengejarnya,
atau mereka terlalu banyak yang ikut berlari.
*tar!
Aku tersentak, saat mendengar suara letusan yang
menggema di langit tengah hutan. Aku semakin panik, karena arah suara itu
persis di saat terakhir aku masih melihat ibuku. Aku masih bersembunyi di balik
semak yang lebat, walau tetap saja sebagian badanku masih tampak. Di sini, aku
hanya bertiga dengan saudaraku. Wajah kami pucat pasi.
Suara orang-orang itu perlahan menghilang, aku
mulai mengatur nafas lalu kami bertiga berjalan menuju kerumunan lain. Hutan
tampak sunyi, berbeda dari 20 menit yang lalu saat kami melakukan adegan
kejar-kejaran, mempertahankan hidup.
Sama seperti yang lain, setelah keluar dari tempat
persembunyian kami mencari ayah, ibu ataupun saudara. Aku, hanya aku yang tidak
dapat menemukan ibuku. Aku berlari cepat, menuju tempat suara letusan. Dan …
“Ibuuuu…” aku berteriak, air mataku deras keluar
membasahi pipiku hingga belalai.
“Heii… banguunn!” suara yang ku kenal mendadak
membuatku terkejut.
“Hah, Ibu?” tanyaku tak percaya.
“Malam-malam kok teriak-teriak? Ibu ada di sini
nak, disampingmu.. Minumlah ini dulu” pinta Ibu sambil menyodorkan air yang ada
di dalam tempurung kelapa.
“Aku mimpi?” tanyaku dalam hati.
“Kenapa kamu teriak nak?” tanya Ibuku.
“Ah tak apa-apa bu..” Aku tak berani mengatakan
soal mimpiku, karena itu terlalu buruk bagiku. Aku bangkit dari tempat tidurku,
lalu merebahkan diri lagi persis di samping ibuku. Aku meraih belalainya, lalu
menyatukannya dengan belalaiku.
“Tuhan, jangan biarkan ibuku pergi terlebih dahulu,
sebelum aku bisa mencari makan sendiri..” gumamku dalam hati, lalu kembali
memejamkan mata.
==================================================================
Semut Kecil Kesepian
Semut kecil yang merasa kesepian, sendirian
menerjang badai dan hujan, pahit kehidupan telah ia rasakan, kesabaran menjadi
kunci untuk bertahan.
Tak mampu menentang kehendak tuhan, hanya menerima
seikhlas hati, tertatih ia melangkah lalui hari demi hari, manatap langit dan
bertanya “kapan semua ini akan berakhir?”
Semut kecil berjalan pincang, tetap melangkah maju
ke depan, meski bebatuan tajam yang harus ia lalui, tak menyerah pada keadaan,
pahit kehidupan hadapi dengan senyuman
Senyum berlapis tangis tawa menyembunyikan derita,
jauh di lubuk hatinya menyimpan tanya “mengapa aku. Mengapa aku yang harus
merasakan ini?” tetes air mata menyelimuti kesendiriannya
Semut kecil tak sama dengan yang lainya. Ia
berbeda. Musibah yang menimpanya membuat ia tak berdaya. Hanya ketegaran hati
yang mampu membuatnya tetap bertahan
Semut kesepian berdoa “tuhan ini memang salahku.
Aku yang tak mampu menjaga tubuh ini, aku yang tak mampu memperbaiki kesalahan
ini, aku memohon ampun padamu” andai aku boleh meminta berikanlah aku kesabaran
berikan aku jalan, berikan aku teman, akan ku jaga semampuku apa yang telah
engkau titipkan”
Semut kecil menghapus air matanya, dan ia
tersenyum. Dan berkata di dalam hati. “aku pasti mampu dan aku tak akan pernah
menyerah”
==================================================================
Burung Pipit yang Sombong
Di hutan ada seekor burung, Pipit namanya. Ia
tinggal sendirian di rumah. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Pipit mempunyai
sifat sombong. Ia tak pernah membantu orang lain, saat orang lain meminta
pertolongannya. Ia juga suka pamer barang-barang baru yang dimilikinya. Dan dia
juga jarang menyapa temannya yang lain, saat bertemu dengan temannya yang lain
di jalan.
Karena sifatnya yang sombong dan tak peduli. Pipit
dijauhi teman-temannya. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Pipit pun suka
main sendiri. Dan saat pergi jalan-jalan dan bertemu teman-temannya, Pipit
selalu dibicarakan teman-temannya, dengan sikap sombongnya itu.
Suatu hari Pipit bertemu dengan Luna, semut merah
yang sangat baik hati. Semut merah yang suka menyapa orang, jika bertemu
dengannya di jalan, langsung menyapa Pipit yang kala itu berpapasan dengannya.
“Siang pipit. Mau pergi kemana?” Tanya si Luna
dengan lembut.
Burung Pipit yang sombong langsung memalingkan
muka, begitu melihat Luna. Ia terus berjalan. Pipit tak peduli pada Luna yang
menyapanya.
“Kalau saja kamu bisa sedikit baik hati pada orang
lain, kamu pasti punya banyak teman. Tak perlu sendirian saat pergi bermain.”
Kata Luna sedih.
Mendengar kata-kata Luna, Pipit tersinggung. Pipit
marah. Pipit merasa diejek oleh Luna. Dengan cepat Pipit membalikkan badan.
Pipit berjalan mendekati Luna.
“Apa katamu tadi?! Kau bilang aku sombong. Tidak
punya teman?” Pipit mengarahkan tangannya pada wajah Luna. Pipit jelas terlihat
sangat marah. “Asal kau tahu. Aku bukannya tidak punya teman. Tapi aku tak mau
berteman dengan mereka. Mereka kotor dan bau. Mereka miskin. Mereka tak punya
baju bagus seperti yang kupakai ini.” Pipit memeperlihatkan pakaiannya yang
sangat bagus pada Luna. “Sebaiknya aku pergi saja. Tidak penting bicara dengan
semut merah, yang kotor dan bau.”
Setelah kalimat terakhir, Pipit pergi meninggalkan
Luna. Pipit pergi dengan sikap sombongnya.
Setelah pipit pergi, Luna menggelengkan kepalanya
dan berucap, “Pipit, kau sangat sombong sekali. Kau pikIr, kau bahagia dengan
sikap sombongmu. Meski kami tidak kaya sepertimu, tapi kami saling membantu
sama lain.”
Luna pergi dengan perasaan sedih.
Setelah kejadian itu, Pipit selalu membuat orang
lain sedih. Pipit selalu mengejek teman-temannya. Ia selalu mengejek pakaian
yang dikenakan teman-temannya itu jelek. Pipit selalu mengejek dan mengusir
pergi teman-temannya, yang datang ke rumahnya. Dengan sikap sombong Pipit yang
berlebihan, teman-temannya tak ada yang mau bermain dengannya. Teman-temannya
tak mau menolong Pipit, jika Pipit ada kesulitan. Suatu hari, Pipit yang baru
saja mencari makanan bertemu dengan Haci, si lebah madu muda. Haci berniat
menolong Pipit, dengan membawakan makanan Pipit. Tapi Pipit langsung marah saat
mau ditolong Haci. Pipit mengira, Haci akan mengambil makanannya. Dengan
sombong dan galak, Pipit menarik makanannya dan menyembunyikannya di balik
bajunya. Pipit juga membentak Haci.
“Hey, Haci! Kalau mau makan cari sendiri! Jangan
ambil makanan orang lain!” bentak Pipit dengan kasar dan keras.
Haci bingung mendengar kata-kata Pipit. Haci cuma
mau berniat menolong Pipit membawakan makanannya, malah dituduh mau mengambil
makanan milik Pipit. Haci pun menjelaskan pada Pipit, kalau dia cuma mau
berniat menolong membawakan makannanya.
“Tidak Pipit. Aku tidak mau mengambil makananmu.
Aku Cuma mau menolong membawakan makananmu. Karena aku lihat, kau kerepotan
membawa makanan sebanyak itu.” Ucap Haci sabar. Dia tidak marah pada Pipit,
yang menuduhnya mau mencuri.
Karena sikap sombongnya sudah terlalu besar, Pipit
tak percaya pada Haci. Pipit pergi meninggalkan Haci. Setelah kejadian itu,
Pipit mulai bercerita pada teman-teman yang lain, kalau Haci, si lebah madu
muda itu, mau mengambil makanan yang ia cari dengan berkerja keras. Tapi,
untunglah. Teman-teman Haci tak terhasut oleh ucapan Pipit. Teman-teman Haci
tidak percaya kalau Haci mencuri. Teman-teman Haci malah tidak percaya pada
ucapan Pipit.
Beberapa hari kemudian Pipit hendak mencari
makanan. Kebetulan persediaan makanannya sudah habis. Pipit pun pergi jauh dari
tempat tinggalnya untuk mencari makanan. Pipit terbang ke sana kemari. Tapi tak
ada satupun makanan yang dia temukan. Sampai-sampai Pipit kelelahan. Pipit berniat
istirahat sebentar. Pipit pun hinggap di sebuah pohon rindang dan teduh. Selang
beberapa saat ia istirahat di pohon rindang itu, ia mendengar sebuah suara.
Awalnya Pipit mengira kalau suara itu cuma angin. Tapi lama-lama perasaannya
tidak enak. Ia yang memejamkan matanya, langsung membuka matanya dengan cepat,
saat sebuah suara yang mirip dengan desisan ular itu terdengar di telinganya.
Saat Pipit membuka matanya, ia terkejut melihat ular besar tengah memandangnya.
Ular itu mendesis, menjulurkan lidahnya. Karena kaget dan takut, Pipit langsung
jatuh ke bawah.
“Arrrggghhh…” Jerit Pipit kesakitan. Ternyata sayap
kiri Pipit patah. Pipit semakin takut dan bingung. Karena ular besar itu turun
dari pohon rindang, dan mendekati Pipit. Pipit duduk diam. Memandangi ular
besar, yang berjalan semakin dekat dengannya. Pipit berpikir, mungkin dia akan
mati dan dimakan oleh ular besar itu. Karena sayap kirinya patah, membuat pipit
tak bisa terbang dan meloloskan diri dari ular besar itu. Pipit memejamkan
matanya dan menunggu dirinya dimakan ular besar itu.
“Pipit lari!”
Pipit mendengar suara Haci. Ia seperti sedang
bermimpi. Kalau Haci akan menolongnya dari ular besar itu.
“Pipit lari!”
Bahkan suara Luna masih ia dengar dalam benaknya.
Pipit tersentak saat bahunya ditarik. Secepat itu,
Pipit membuka matanya. Sekarang dia sudah jauh dari ular besar itu. Pipit
melihat Haci kelelahan karena menarik tubuhnya yang lebih besar dari tubuh
Haci.
“Sekarang kau sudah aman. Teman-teman dan aku akan
melawan ular besar itu. Kau tunggu disini.” Ucap Haci setelah menarik tubuh
Pipit, menjauh dari ular besar itu.
Pipit melihat Haci bergabung dengan teman-temannya
untuk melawan ular besar itu. Luna juga ikut melawan ular besar itu. Pipit
melihat semua teman-temannya yang sering ia hina, sekarang sedang membantunya
dari kejahatan ular besar, yang mau memakannya.
Setengah jam kemudian ular besar itu berhasil
diusir. Dan ular besar itu pergi dari tempat itu. Haci, Luna dan teman-temannya
yang lain mendekati Pipit. Pipit duduk pada sebatang kayu. Pipit memegangi
sayap kirinya yang patah.
“Terima kasih.” Ucap pipit malu-malu pada Haci,
Luna dan teman-temannya.
“Terima kasihlah pada Haci. Karena dia yang melihat
kamu mau dimakan ular besar itu. Saat melihat itu, Haci langsung terbang dan
menemui kami. Ia bilang kalau kamu akan dimakan ular besar. Cepat-cepat kami
pergi kemari dan menolongmu. Dan kami berhasil mengusir ular besar itu.” Ucap
Luna lembut.
“Terima kasih, Haci.” Ucap Pipit.
“Tidak perlu berterima kasih. Bukankah kita semua
teman. Dan teman harus menolong temannya yang sedang kesusahan.” Jawab Haci
yang disambut tepuk tangan teman-temannya.
“Haci, maafkan aku. Aku sudah menuduhmu mencuri
makananku.” Pipit meminta maaf pada Haci. “Dan juga, aku sudah bersikap sombong
pada Luna dan yang lainnya. Aku minta maaf. Dan aku akan berubah.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak marah kok. Dan aku senang
kalau kau mau berubah.” Ucap Haci.
“Menjadi Pipit yang baik hati.” Timpal Luna.
“Dan tidak sombong.” Tambah teman-temannya yang
lain.
Haci, Pipit, Luna dan teman-temannya tertawa
gembira. Sekarang Pipit sudah tidak bersikap sombong lagi. Pipit juga sudah mau
berteman dengan yang lainnya. Dan Pipit juga tidak mengusir temannya yang
datang ke rumah. Semuanya berakhir bahagia, dengan tawa yang disambut senja.
==================================================================
Kancil Yang Bijaksana
Di sebuah hutan, hiduplah seekor Kancil yang besar
dan gemuk. Kancil itu dikenal sangat baik dan suka menolong oleh hewan-hewan
lainya. Selain itu Kancil juga hewan yang cerdik. Kancil selalu membantu dan
menolong temannya yang akan menyeberangi danau, karena Danau itu dijaga oleh
seekor buaya yang sangat besar dan rakus.
Pada suatu hari, saat Kancil pergi untuk mencari
makan. Tiba-tiba Kancil mendengar temannya minta tolong di sekitar danau. Lalu
Kancil berlari cepat menghampiri temannya. Ternyata lagi-lagi Buaya itu tidak
memperbolehkan hewan lain masuk ke wilayahnya, dan selalu mengancam siapapun
yang masuk ke wilayahnya akan dimakan.
Tiba-tiba Kancil melihat ikan kecil di tepi Danau.
Lalu Kancil mengambil ikan kecil itu tanpa sadarnya buaya. Lalu, Kancil
melempari ikan-ikan kecil itu kepada buaya agar buaya itu memakan ikan kecil
itu dan tidak sadar bahwa Kancil dan temannya menyeberangi Danau itu melewati
punggung Buaya. Lalu Kancil mengantarkan temannya mencari makan.
Teman-teman Kancil bangga memiliki teman yang
bijaksana. Teman kancil yang di tolong tadi berterima kasih kepada Kancil,
sampai akhirnya Kancil di juluki Kancil yang bijaksana.
=================================================================
Membagikan Telur
Siang itu, rumah si kembar Delancey (Dela) dan
Stacey (Aci) yang sibuk dikejutkan oleh seseorang. “Halo, anak-anak! sibuk
sekali kalian sampai pamanmu ini tidak dibukakan pintu,” kata sosok misterius
itu. “Paman Mbul! Lihat tadi pagi kami menemukan ini di kebun,” ujar Dela
sambil menunjukkan sebutir telur warna-warni pada pamannya itu.
“Aku yakin sekali pasti si kelinci putih yang
memberikan ini untuk kami,” ucap Aci.
“Telur itu bagus sekali! Tapi apakah kalian pernah
bertanya kenapa kita, khususnya kelinci, sering membagikan telur?” kata Paman
Mbul.
“Ceritakan dong Paman!” sahut si kembar bersamaan.
Ceritapun dimulai…
Zaman dulu sekali… pernah terjadi panen tahunan
gagal karena secara tiba-tiba serangga-serangga hama datang. Akhirnya, semua
warga kelaparan. Mereka sudah mencoba banyak cara. Memancing? Yang didapat
hanya ikan yang kecil sekali. Berburu? Yang didapat hanya hewan bertulang
dilapisi kulit. Sulit sekali sampai-sampai para penghuni hutan pun
merasakannya.
Satu-satunya makanan yang bisa ditemukan di hutan
hanya telur milik Pak Beruang Kikir. Ia memiliki 100 ayam hutan petelur yang
bertelur setiap harinya. Para penghuni hutan tentu saja membeli pada Pak
Beruang. Tapi, Pak Beruang menaikkan harganya setiap harinya, sehingga para
penghuni hutan yang miskin tidak mampu membelinya. Banyak penghuni hutan yang
kelaparan itu mencoba mencuri telur itu, tapi tidak pernah ada yang berhasil.
Telur Pak Beruang semakin mahal dan penghuni hutan semakin putus asa, sampai
akhirnya cita Kelinci mengeluh pada temannya Lusi Terwelu di rumahnya.
“Coba lihat ini, Lusi! Baju ini sudah lebih mirip
daster! Lebih besar 3 kali dari ukuran sebenarnya,” ungkap Cita.
“Ah… mungkin maksudmu badanmu yang tinggal tulang
berbalut kulit? Nggak usah ngomong deh! Semua warga di sini juga kurus seperti
papan,” bantah Lusi sambil mengecat mainan kayu yang ia buat.
“Kecuali Pak Beruang Kikir. Setiap pagi ia
menyimpan telur-telur segar,” ucap Cita.
“Hei, itu dia! Pagi-pagi sekali sebelum ia
mengambil telurnya, kita akan mengambilnya. Kau berbicara dengan Pak Beruang
sementara aku menggali lubang di kandang ayam itu dan mengambil telur itu,”
usul Lusi.
“Setuju…!” sahut Cita sambil menjabat tangan Lusi
yang belepotan cat.
Maka keesokkan paginya, pagi-pagi sekali, rencana
itu pun dilaksanakan. Sementara cita mengobrol dengan Pak Beruang, Lusi
mengambil kelima puluh telur dari lubang yang ia buat.
Rencana itu berhasil! Mereka pulang membawa kelima
puluh telur itu. Tapi, ketika Cita meminta bagiannya, ia mendapat kejutan…
“Bagianmu? Kau kan cuma mengobrol, dan lagipula
yang punya ide ini kan bukan kau, tapi aku,” bantah Lusi.
Dengan penuh kekesalan, Cita pergi dari rumah Lusi.
Siang itu, Lusi yang hendak memakan telur-telur itu kaget ketika melihat Pak
Beruang dan Maro Marmut si detektif sedang berkeliling mendatangi rumah-rumah
penduduk. Mereka sudah dapat dipastikan sedang mencari si pencuri telur. Segera
Lusi mengejar Cita dan mengajaknya masuk ke rumahnya.
Mereka amat ketakutan dan berusaha mencari tempat
untuk menyembunyikan telur-telur itu. Tanpa sengaja, Cita tersandung mainan
kayu Lusi dan telur-telur itu jatuh ke kaleng-kaleng yang berisi cat.
Kecelakaan ini menyelamatkan jiwa Cita dan Lusi.
Ketika Pak Beruang dan Maro Marmut memeriksa di rumah Lusi, ternyata yang ada
adalah telur-telur berwarna dan tentu saja Pak Beruang mengatakan itu bukan
telur-telurnya yang hilang.
“Ini khusus untuk warga hutan! Aku mendapatkannya
dari pamanku di hutan sebelah,” ucap Cita.
“Hmm… ide bagus Cita! Semoga Pak Beruang dapat
mencontohnya,” kata Maro.
Maka Pak Beruang pun mengikuti hal itu. Ia
membagikan telur secara gratis. Begitu juga ke desa manusia. Dan untuk mencegah
terjadinya kelaparan, khususnya di musim kemarau (April), para kelinci
membagi-bagikan telurnya.
Begitulah Paman Mbul mengakhiri kisahnya.
“Ooo… jadi begitu rupanya, kukira para kelinci
bertelur,” kata Aci.
“Memang tidak! Kelinci itu beranak, tapi anak-anak
mereka yang akan menjadi penerus tradisi ini,” sahut Paman Mbul.
“Tapi, yang pasti,” lanjut Paman Mbul, “Cerita ini
ingin berpesan agar kita sebagai generasi penerus hendaknya melakukan yang baik
seperti para pendahulu kita. Dan jangan pelit tentunya.”