makalah hukum islam

MAKALAH HUKUM ISLAM


KATA PENGANTAR
              Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala hikmat dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nyalah akhirnya makalah “Sejarah Perkembangan dan Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
            Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam di Universitas Haluoleo Kendari. Selain itu penulis mengharapkan agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
            Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih banyak kekurangannya. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.
Harapan penulis, mudah-mudahan makalah yang sederhana benar-benar membuktikan bahwa mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin.

                                                                                         Kendari, Maret 2013


  PENULIS

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional di negara Republik Indonesia. sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem. Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.
Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam ras dan suku bangsa, Indonesia menghormati kebebasan penduduknya memeluk agama masing – masing, sehingga tidaklah mungkin menerapkan hukum Islam secara penuh kepada setiap warga negara, meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi, agama Islam bersifat universal. Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam, sehingga juga bersifat universal. pada hakikatnya hukum Islam merupakan keyakinan yang melekat pada setiap orang yang beragama Islam, tidak peduli kapan dan dimanapun.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaats) sebagaimana tertuang dalam bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka menjadi suatu kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahannya selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Maka negara hukum yang dimaksud di sini bukan hanya merupakan pengertian umum yang dapat dikaitkan dengan berbagai konotasi. Maupun hanya rechstaat dan rule of law sebagaimana dipraktikkan di barat. Tapi juga nomokrasi Islam dan negara hukum Pancasila yang dipraktikkan di Indonesia.
Namun, Indonesia juga bukan negara yang menganut paham teokrasi berdasarkan penyelenggaraan negaranya pada agama tertentu saja. Di mana, menurut paham teokrasi, negara dan agama dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Yakni dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Sehingga tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan dengan titah Tuhan dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, paham ini melahirkan konsep negara agama atau agama resmi, dan dijadikannya agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Konsep negara teokrasi ini sama dengan paradigma integralistik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pada tataran lain, negara Indonesia juga tidak menganut negara sekuler yang mendisparitas agama atas negara dan memisahkan secara diametral antara agama dengan negara. Paham ini melahirkan konsep agama dan negara yang merupakan dua entitas berbeda, dan satu sama lain memiliki wilayah garapan masing-masing. Sehingga, keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.
Namun, relasi antara agama dan negara di Indonesia dikemas secara sinergis, bukan dikotomis yang memisahkan antara keduanya. Agama dan negara merupakan entitas yang berbeda. Namun, keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik. Yakni agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Sebaliknya negara juga membutuhkan agama. Sebab, agama pun membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualiatas. Pemahaman seperti ini disebut dengan paradigma simbiotik. Maka dalam konteks ke-Indonesia-an paradigma simbiotik ini, kedudukan hukum Islam menempati posisi strategis sebagai sumber legitimasi untuk menegakkannya dalam porsi yang proporsional. Bukan dengan formalisasi-legalistik melalui institusi negara sebagaimana disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela Islam.
Namun sebagaimana dikemukakan oleh Bismar Siregar, yang menyatakan bahwa kewajiban menjalankan syariat tidak perlu diperintahkan secara formal berdasarkan undang-undang. Karena sekali orang menyatakan dirinya umat Muhammad, dengan ikrar dua kalimat syahadat, maka berlakulah menjalankan syariat atas dirinya.
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang bukan berdasar pada agama tertentu. Tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan hukum terhadap produk hukum nasional. Hukum agama sebagai sumber hukum di sini diartikan sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan harus menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu) menurut peraturan perundang-undangan. Dalam konteks inilah, Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia memiliki prospek dalam pembangunan hukum nasional. Karena secara kultural, yuridis, filosofis maupun sosiologis, memiliki argumentasi yang sangat kuat.
Penerapan atau positivisme hukum Islam dalam sistem hukum nasional setidaknya melalui dua langkah. Yaitu proses demokrasi dan prolegnas (akademisi), bukan indoktrinasi. Dalam proses demokrasi ada musyawarah mufakat yang kemudian dituangkan dalam prolegnas (progam legislasi nasional). Yang selanjutnya untuk menjadi hukum positif diperlukan kajian lebih mendalam melalui naskah akademik karena menyangkut tinjauan dari berbagai macam aspek. Baik sosiologis, politis, ekonomis, maupun filosofis. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2004 sebagaimana sudah diubah menjadi UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Seiring berjalannya waktu, ada beberapa norma-norma hukum Islam yang sudah menjadi hukum positif. Adalah, apabila berkaitan dengan akuntabilitas publik atau tanggung jawab public. Nah, berdasarkan uraian diatas, perlu kiranya membahas mengenai bagaimana Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia.

B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah :
1.     Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia?
2.     Bagaimana kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional?
3.     Apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional?
4.     Apa sajakah kontribusi hukum Islam terhadap perkembangan hukum nasional?
C.   TUJUAN
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan tujuan yang bermanfaat.
1.    Tujuan Umum
Tujuan umum dibuatnya makalah ini adalah agar para pembaca pada umumnya dan penulis khususnya dapat mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam di Indonesia, apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional serta apa sajakah kontribusi hukum Islam terhadap perkembangan hukum nasional.
2.    Tujuan Khusus
            Tujuan khusus dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan perkuliahan mata kuliah Hukum Islam yang sedang penulis jalani dalam semester 2 ini.
D.   MANFAAT
                  Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah :


a.    Bagi Penulis
Dapat mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia serta berharap agar makalah ini dapat memenuhi tuntutan perkuliahan yang sedang dijalani.
b.    Bagi Pembaca
Dapat memberikan informasi dan penjelasan mengenai bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia.
c.    Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi dan penjelasan mengenai bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia serta dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para ahli mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara.
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum yang mahir tentang hukum Islam). Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i. Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan – kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Kenyataan ini dilihat bahwa bila seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan Hukum Islam.
Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum Islam. Salah satu contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin Ar-Raniri, yang menulis buku hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim pada tahun 1628. menurut Hamka, kitab Hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian diberi nama Sabilal Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh Abdu Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini. Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.
Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di Pelabuhan Banten, Jawa Barat. semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian haluannya berubah menjadi menguasai kepulauan Indonesia. VOC memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai badan pemerintahan. Dalam kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan hukum Belanda yang dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa diterapkan seluruhnya, sehingga VOC kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli yang ada di dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari – hari.
Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah – daerah yang dikuasai VOC. Selain Compendium Freijer, banyak lagi kitab hukum yang dibuat di zaman VOC, di antaranya ialah kitab hukum mogharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah kitab perihal hukum – hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum Islam Muharrar karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana Islam. Posisi hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang dua abad.
Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda menguasai sungguh – sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Perubahan ini khususnya tampak pada abad ke 19, dimana ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap dapat segera menghilangkan pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri Belanda. Selain itu, pemerintah Belanda memiliki keinginan yang kuat untuk menata dan mengubah hukum di Indonesia menjadi hukum Belanda, karena adanya anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik daripada hukum yang telah ada di Indonesia. untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda kemudian mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem yang bertugas untuk melakukan penyesuaian undang – undang Belanda itu dengan Indonesia.
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda, Scholten berpendapat bahwa hukum Islam sebaiknya tetap dibiarkan ada dalam masyarakat agar tidak terjadi hal – hal yang tidak menyenangan. Pendapat inilah yang mungkin menyebabkan pasal 75 RR menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang – undang agama dan lembaga – lembaga kebiasaan mereka bila golongan bumi putera bersengketa, sejauh undang – undang dan kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata antara sesama orang bumi putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik pengadilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang telah berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya.
Seorang ahli hukum Belanda bernama van den Berg mengatakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan: receptio in complexu. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama receptie theorie. Karena teori inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang – orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui pasal 2a ayat (1) S. 1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di Jawa menyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1 April 1937. wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun dialihkan ke Landraad.
Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap sangat bertentangan dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi Islam. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad tersebut dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat Muslim Indonesia. Meski begitu pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan protes tersebut.
Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya semula (sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI berhasil menghasilkan Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. di dalam piagam ini, dinyatakan antara lain bahwa negara ‘berdasarkan pada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh PPKI diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Setelah kemerdekaan Indonesia, adanya UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, maka IS yang menjadi landasan legal teori resepsi sudah tidak berlaku lagi. Bagaimana posisi hukum Islam? Dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama, maka jelas hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan bagi orang yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama kembali mempergunakan Hukum Islam, sekurang – kurangnya satu asas dalam menyelesaikan satu sengketa. Pengadilan Agama juga diperbolehkan menggunakan hukum adat asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam.

B.   Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
Kini, di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang – undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum Adat. Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam. Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum Adat dan hukum Barat, karena itu hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat dan hukum barat yang juga tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia dan telah mendapat tempat konstitusional menurut Abdul Ghani Abdullah berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila; Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Menurut mantan Menteri Kehakiman Ali Said pada pidatonya di upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981 hukum Islam terdiri dari dua bidang, bidang ibadah dan bidang muamalah. Pengaturan hukum yang bertalian dengan ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan mengenai muamalah tidak terlalu rinci. Yang ditentukan dalam bidang muamalah hanyalah prinsip – prinsipnya saja. Pengembangan dan aplikasi prinsip – prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan. Oleh karena hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma – norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang norma tersebut sesuai dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 serta relevan dengan kebutuhan hukum khusus umat Islam. Menurut Ali Said, banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat digunakan dalam menyusun hukum nasional.
Kutipan ini semakin menegaskan bahwa hukum Islam berkedudukan sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.

C.   Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional
Pada tahap perkembangan pembinaan hukum nasional sekarang, menurut Daud Ali, yang diperlukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah badan yang berwenang merancang dan menyusun hukum nasional yang akan datang adalah asas – asas dan kaidah – kaidah hukum Islam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun khusus. Umum adalah ketentuan – ketentuan umum mengenai peraturan perundang – undangan yang akan berlaku di tanah air kita, sedangkan khusus contohnya adalah asas – asas hukum perdata Islam terutama mengenai hukum kewarisan, asas – asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik, perjanjian dan utang – piutang, asas – asas hukum pidana Islam, asas – asas hukum tata negara dan administrasi pemerintahan, asas – asas hukum acara dalam Islam dan lain – lain.
Masalah utama yang dihadapi oleh lembaga pembinaan hukum nasional adalah merumuskan asas – asas dalam hukum Islam tersebut ke dalam kata – kata jelas yang dapat diterima oleh semua golongan di pelosok tanah air, bukan hanya orang Islam saja. Tim pengkajian Hukum Islam Babinkumnas telah berusaha menemukan asas – asas tersebut dan merumuskannya ke dalam kaidah – kaidah untuk dijadikan untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional. Berbagai asas dapat dikembangkan melalui jurisprudensi peradilan agama, karena asas – asas ini dirumuskan dari keadaan konkret di tanah air kita, sehingga dapat lebih mudah diterima.
Konsep pengembangan hukum Islam, secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya serta politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian, konsep tersebut lalu diubah arahnya yaitu secara kualitatif diakomodasikan dalam berbagai perundang – undangan yang dilegaslasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi hukum Islam ke dalam bentuk perundang – undangan.
Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional terjadi juga di beberapa negara muslim seperti Mesir, Syria, Irak, Jordania dan Libya. Yang berbeda adalah kadar unsur – unsur hukum Islam dalam hukum nasional negara – negara yang bersangkutan. Di negara – negara tersebut, hukum nasional mereka merupakan percampuran antara hukum barat dan hukum Islam, sementara di Indonesia, hukum nasional di masa yang akan datang akan merupakan perpaduan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat.

D.   Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya  terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,[1][48] seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
a.    Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat dan UU Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b.    Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
c.    Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
d.    Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam:
a.    Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
b.    Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006. tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.
c.    Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik.
d.    Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
e.    Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893).
f.     Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).
g.    Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
h.    Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
i.      Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam.
j.      Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel sistem banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad  yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejarah perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun 2008) tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.  Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I, qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah.
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah hukum Islam bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang beragama Islam, dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam juga berlaku terhadap umat Islam di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam hukum Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakter bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945.
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Pasang surut tersebut adalah perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum Islam telah menjadi hukum yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional. Beberapa hukum Islam yang telah melekat pada masyarakat kemudian dijadikan peraturan perundang – undangan. Dengan adanya peraturan – peraturan perundang – undang yang memiliki muatan hukum Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah – masalah perdata.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek penerapan hukum Islam di Indonesia cukup cerah.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada berbagai kenyataan positif, antara lain:
1.    Berbagai kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah selaku penyelenggara Negara yang memberi peluang bagi berperannya hukum Islam.
2.    Telah terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang membuat hukum Islam menjadi lebih eksis sebagai sub sistem dalam sistem hukum nasional.
3.    Adanya upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat Islam dan pakar hukum Islam melalui dakwah dan pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan kualitas iman juga kesadaran untuk melaksanakan secara hukum secara maksimal.
Sekian semoga bermanfaat bagi semuanya, jazakumullah khairal jaza.
B.   Saran
Sebagai saran, diharapkan untuk perkembangan hukum Islam selanjutnya dapat dikeluarkan lagi peraturan perundang – undangan mengenai apa yang belum ada sebelumnya. Sebagai contoh, anak adopsi. Islam tidak mengenal adanya anak adopsi, yang ada hanyalah anak asuh. Yang mengenal soal pengangkatan anak hanyalah hukum barat dan hukum adat. Bila peraturan mengenai adopsi / asuh dikeluarkan menurut hukum Islam maka akan menimbulkan kepastian hukum bagi anak – anak asuh / adopsi maupun orangtuanya.
Selanjutnya adalah mengenai perkawinan antar agama yang belum diatur dengan gamblang di Undang – Undang Perkawinan. Seharusnya, dimuat aturan yang jelas mengenai laki – laki muslim yang diperbolehkan menikah dengan perempuan non muslim, atau perempuan muslim yang diharamkan menikah dengan laki – laki non muslim. Selama ini karena peraturannya tidak ada maka banyak orang memilih untuk menikah di luar negeri. Bila peraturannya ada, maka batas antara larangan dan bukan akan terlihat jelas.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Muhammad Daud, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, Makalah disampaikan pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, tanggal 17 Mei 1995.
_________________, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984).
_________________, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Press, 1998).
_________________, Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta: Rajawali
Press, 1997).

Didi Kusnadi. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan
Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia (Cet I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
Rasdiyanah, Andi, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah Disampaikan pada upacara Pembukaan Seminar Nasional tentang Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, UII-Yogyakarta, 2 Desember 1995.

Speyoeti, Zarkowi, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Konsep Keadilan dalam Perspektif Hukum, IAIN Sunan Ampel Gunungjati-Bandung, 16 Mei 1994.