MAKALAH HUKUM ISLAM
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala hikmat dan rahmat yang telah
dilimpahkan-Nyalah akhirnya makalah “Sejarah
Perkembangan dan Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia” ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam di
Universitas Haluoleo Kendari. Selain itu penulis mengharapkan agar makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan. Namun,
berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan
walaupun masih banyak kekurangannya. Karena itu, sepantasnya jika penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan
berdaya guna dimasa yang akan datang.
Harapan penulis, mudah-mudahan makalah
yang sederhana benar-benar membuktikan bahwa mahasiswa dapat lebih berperan
serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan sehari-hari dan bermanfaat
bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin.
Kendari,
Maret 2013
PENULIS
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sistem hukum Indonesia adalah sistem
hukum yang berlaku nasional di negara Republik Indonesia. sistem hukum
Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem hukum yang berlaku nasional
terdiri dari lebih satu sistem. Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum
adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.
Sebagai negara yang penduduknya
terdiri dari berbagai macam ras dan suku bangsa, Indonesia menghormati
kebebasan penduduknya memeluk agama masing – masing, sehingga tidaklah mungkin
menerapkan hukum Islam secara penuh kepada setiap warga negara, meskipun
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi, agama Islam bersifat
universal. Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam, sehingga juga bersifat
universal. pada hakikatnya hukum Islam merupakan keyakinan yang melekat pada
setiap orang yang beragama Islam, tidak peduli kapan dan dimanapun.
Indonesia
adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaats)
sebagaimana tertuang dalam bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka
menjadi suatu kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahannya
selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Maka negara hukum yang
dimaksud di sini bukan hanya merupakan pengertian umum yang dapat dikaitkan
dengan berbagai konotasi. Maupun hanya rechstaat dan rule of law sebagaimana
dipraktikkan di barat. Tapi juga nomokrasi Islam dan negara hukum Pancasila
yang dipraktikkan di Indonesia.
Namun, Indonesia juga
bukan negara yang menganut paham teokrasi berdasarkan penyelenggaraan negaranya
pada agama tertentu saja. Di mana, menurut paham teokrasi, negara dan agama
dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Yakni dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan. Sehingga tata kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara dilakukan dengan titah Tuhan dalam kehidupan umat manusia. Oleh
karena itu, paham ini melahirkan konsep negara agama atau agama resmi, dan
dijadikannya agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Konsep negara teokrasi
ini sama dengan paradigma integralistik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa
agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pada tataran lain, negara
Indonesia juga tidak menganut negara sekuler yang mendisparitas agama atas
negara dan memisahkan secara diametral antara agama dengan negara. Paham ini
melahirkan konsep agama dan negara yang merupakan dua entitas berbeda, dan satu
sama lain memiliki wilayah garapan masing-masing. Sehingga, keberadaannya harus
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.
Namun,
relasi antara agama dan negara di Indonesia dikemas secara sinergis, bukan
dikotomis yang memisahkan antara keduanya. Agama dan negara merupakan entitas
yang berbeda. Namun, keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik.
Yakni agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan
agama. Sebaliknya negara juga membutuhkan agama. Sebab, agama pun membantu
negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualiatas. Pemahaman seperti ini
disebut dengan paradigma simbiotik. Maka dalam konteks ke-Indonesia-an
paradigma simbiotik ini, kedudukan hukum Islam menempati posisi strategis
sebagai sumber legitimasi untuk menegakkannya dalam porsi yang proporsional.
Bukan dengan formalisasi-legalistik melalui institusi negara sebagaimana
disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela Islam.
Namun sebagaimana
dikemukakan oleh Bismar Siregar, yang menyatakan bahwa kewajiban menjalankan
syariat tidak perlu diperintahkan secara formal berdasarkan undang-undang.
Karena sekali orang menyatakan dirinya umat Muhammad, dengan ikrar dua kalimat
syahadat, maka berlakulah menjalankan syariat atas dirinya.
Sistem hukum Indonesia
adalah sistem hukum yang bukan berdasar pada agama tertentu. Tetapi memberi
tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum
atau memberi bahan hukum terhadap produk hukum nasional. Hukum agama sebagai
sumber hukum di sini diartikan sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan
hukum) dan bukan harus menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu)
menurut peraturan perundang-undangan. Dalam konteks inilah, Islam sebagai agama
yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia memiliki prospek dalam pembangunan
hukum nasional. Karena secara kultural, yuridis, filosofis maupun sosiologis,
memiliki argumentasi yang sangat kuat.
Penerapan atau positivisme
hukum Islam dalam sistem hukum nasional setidaknya melalui dua langkah. Yaitu
proses demokrasi dan prolegnas (akademisi), bukan indoktrinasi. Dalam proses
demokrasi ada musyawarah mufakat yang kemudian dituangkan dalam prolegnas
(progam legislasi nasional). Yang selanjutnya untuk menjadi hukum positif
diperlukan kajian lebih mendalam melalui naskah akademik karena menyangkut
tinjauan dari berbagai macam aspek. Baik sosiologis, politis, ekonomis, maupun
filosofis. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2004 sebagaimana sudah
diubah menjadi UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Seiring
berjalannya waktu, ada beberapa norma-norma hukum Islam yang sudah menjadi
hukum positif. Adalah, apabila berkaitan dengan akuntabilitas publik atau
tanggung jawab public. Nah, berdasarkan uraian diatas, perlu kiranya membahas
mengenai bagaimana Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas,
muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah :
1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum
Islam di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan hukum Islam
dalam sistem hukum nasional?
3. Apakah peran hukum Islam dalam
pembinaan hukum nasional?
4. Apa sajakah kontribusi hukum Islam
terhadap perkembangan hukum nasional?
C. TUJUAN
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan tujuan
yang bermanfaat.
1.
Tujuan
Umum
Tujuan
umum dibuatnya makalah ini adalah agar para pembaca pada umumnya dan penulis
khususnya dapat mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum
Islam di Indonesia, apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional
serta apa sajakah kontribusi hukum Islam terhadap perkembangan hukum nasional.
2. Tujuan Khusus
Tujuan
khusus dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan perkuliahan mata kuliah
Hukum Islam yang sedang penulis jalani dalam semester 2 ini.
D. MANFAAT
Adapun
manfaat dari penyusunan makalah ini adalah :
a. Bagi Penulis
Dapat
mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam sistem
hukum positif Indonesia serta berharap agar makalah ini dapat memenuhi tuntutan
perkuliahan yang sedang dijalani.
b. Bagi Pembaca
Dapat memberikan informasi dan
penjelasan mengenai bagaimana sejarah
perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia.
c. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi dan
penjelasan mengenai bagaimana sejarah
perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia serta dapat
membantu menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan
hukum Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para ahli mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar
Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah
masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan
masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada
abad ke-13 Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau
Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan
kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara.
Ketika singgah di Samudera Pasai
pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang pengembara, mengagumi
perkembangan Islam di negeri tersebut. ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik
Al-Zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut
pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik
Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli
hukum yang mahir tentang hukum Islam). Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu
itu adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i. Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan
paham Syafi’i ke kerajaan – kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah
kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang
ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang
mereka jumpai dalam masyarakat.
Dalam proses Islamisasi kepulauan
Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan,
peranan hukum Islam adalah besar. Kenyataan ini dilihat bahwa bila seorang
saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita
itu diislamkan lebih dahulu dan perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut
ketentuan Hukum Islam.
Setelah agama Islam berakar pada
masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama
yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum Islam. Salah satu contoh ulama
yang terkenal adalah Nuruddin Ar-Raniri, yang menulis buku hukum Islam dengan
judul Siratal Mustaqim pada tahun 1628. menurut Hamka, kitab Hukum Islam yang
ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan
ke seluruh Indonesia. oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi
mufti di Banjarmasin, kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan
diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa
antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian
diberi nama Sabilal Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit
pula beberapa kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam
menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh
Syaikh Abdu Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Dari uraian singkat di atas dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasannya di
Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam
masyarakat, tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang
mendiami kepulauan Nusantara ini. Islam berakar dalam kesadaran penduduk
kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam
kebudayaan Indonesia.
Pada akhir abad keenam belas, VOC
merapatkan kapalnya di Pelabuhan Banten, Jawa Barat. semula maksudnya adalah
berdagang, tapi kemudian haluannya berubah menjadi menguasai kepulauan
Indonesia. VOC memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai
badan pemerintahan. Dalam kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan
hukum Belanda yang dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa
diterapkan seluruhnya, sehingga VOC kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli
yang ada di dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya.
Pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh
rakyat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia)
tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang
beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh
rakyat sehari – hari.
Berdasarkan pola pemikiran tersebut,
pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium
(intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan
Islam. Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam,
ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah VOC (1760) dan
dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di
kalangan umat Islam di daerah – daerah yang dikuasai VOC. Selain Compendium
Freijer, banyak lagi kitab hukum yang dibuat di zaman VOC, di antaranya ialah
kitab hukum mogharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah
kitab perihal hukum – hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum
Islam Muharrar karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum
pidana Islam. Posisi hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama
lebih kurang dua abad.
Waktu pemerintahan VOC berakhir dan
pemerintahan kolonial Belanda menguasai sungguh – sungguh kepulauan Indonesia,
sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Perubahan ini khususnya tampak
pada abad ke 19, dimana ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap dapat
segera menghilangkan pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia
dengan berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat
bahwa pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri
Belanda. Selain itu, pemerintah Belanda memiliki keinginan yang kuat untuk
menata dan mengubah hukum di Indonesia menjadi hukum Belanda, karena adanya
anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik daripada hukum yang telah ada di
Indonesia. untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda kemudian
mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem yang
bertugas untuk melakukan penyesuaian undang – undang Belanda itu dengan
Indonesia.
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam
usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda, Scholten berpendapat bahwa
hukum Islam sebaiknya tetap dibiarkan ada dalam masyarakat agar tidak terjadi
hal – hal yang tidak menyenangan. Pendapat inilah yang mungkin menyebabkan
pasal 75 RR menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang –
undang agama dan lembaga – lembaga kebiasaan mereka bila golongan bumi putera
bersengketa, sejauh undang – undang dan kebiasaan tersebut tidak bertentangan
dengan hukum Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata antara sesama
orang bumi putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik
pengadilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang telah
berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya.
Seorang ahli hukum Belanda bernama
van den Berg mengatakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi
hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan: receptio in
complexu. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje, ia
berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah
hukum Islam, tetapi hukum Adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama
receptie theorie. Karena teori inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda
membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad
Agama di Jawa dan Madura yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili
perkara kewarisan orang – orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan
alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat,
maka melalui pasal 2a ayat (1) S. 1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat
raja – raja Islam di Jawa menyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya distop
oleh pemerintah kolonial sejak 1 April 1937. wewenang untuk mengadili perkara
kewarisan pun dialihkan ke Landraad.
Akan tetapi, Landraad ketika
memutuskan perkara warisan dianggap sangat bertentangan dengan hukum Islam,
sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi Islam. Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) pun memprotes kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad
tersebut dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat
Muslim Indonesia. Meski begitu pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan
protes tersebut.
Usaha untuk mengendalikan dan
menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya semula (sebelum dikendalikan oleh
Pemerintah Belanda) terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai
kesempatan yang terbuka. Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI
berhasil menghasilkan Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi
Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. di dalam piagam ini, dinyatakan antara
lain bahwa negara ‘berdasarkan pada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh PPKI
diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga
berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Setelah kemerdekaan Indonesia,
adanya UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, maka IS yang
menjadi landasan legal teori resepsi sudah tidak berlaku lagi. Bagaimana posisi
hukum Islam? Dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan
yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama,
maka jelas hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan bagi
orang yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama kembali
mempergunakan Hukum Islam, sekurang – kurangnya satu asas dalam menyelesaikan
satu sengketa. Pengadilan Agama juga diperbolehkan menggunakan hukum adat
asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam.
B.
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional
Kini,
di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang
– undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum Adat. Republik
Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang
pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam. Kedudukan hukum Islam
dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum Adat dan
hukum Barat, karena itu hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan hukum
nasional yang akan datang di samping hukum adat dan hukum barat yang juga
tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia
dan telah mendapat tempat konstitusional menurut
Abdul Ghani Abdullah berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan
filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum
mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi terciptanya
norma fundamental negara Pancasila; Kedua, alasan Sosiologis.
Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan
kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang
berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal
24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara
yuridis formal.
Menurut mantan Menteri Kehakiman Ali
Said pada pidatonya di upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata
Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981
hukum Islam terdiri dari dua bidang, bidang ibadah dan bidang muamalah.
Pengaturan hukum yang bertalian dengan ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan
mengenai muamalah tidak terlalu rinci. Yang ditentukan dalam bidang muamalah
hanyalah prinsip – prinsipnya saja. Pengembangan dan aplikasi prinsip – prinsip
tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan
pemerintahan. Oleh karena hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk
serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi
kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara
ilmiah adanya transformasi norma – norma hukum Islam ke dalam hukum nasional,
sepanjang norma tersebut sesuai dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945
serta relevan dengan kebutuhan hukum khusus umat Islam. Menurut Ali Said,
banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat
digunakan dalam menyusun hukum nasional.
Kutipan ini semakin menegaskan bahwa
hukum Islam berkedudukan sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.
C.
Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum
Nasional
Pada tahap perkembangan pembinaan
hukum nasional sekarang, menurut Daud Ali, yang diperlukan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional adalah badan yang berwenang merancang dan menyusun hukum
nasional yang akan datang adalah asas – asas dan kaidah – kaidah hukum Islam
dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun khusus. Umum adalah
ketentuan – ketentuan umum mengenai peraturan perundang – undangan yang akan
berlaku di tanah air kita, sedangkan khusus contohnya adalah asas – asas hukum
perdata Islam terutama mengenai hukum kewarisan, asas – asas hukum ekonomi
terutama mengenai hak milik, perjanjian dan utang – piutang, asas – asas hukum
pidana Islam, asas – asas hukum tata negara dan administrasi pemerintahan, asas
– asas hukum acara dalam Islam dan lain – lain.
Masalah utama yang dihadapi oleh
lembaga pembinaan hukum nasional adalah merumuskan asas – asas dalam hukum
Islam tersebut ke dalam kata – kata jelas yang dapat diterima oleh semua
golongan di pelosok tanah air, bukan hanya orang Islam saja. Tim pengkajian
Hukum Islam Babinkumnas telah berusaha menemukan asas – asas tersebut dan
merumuskannya ke dalam kaidah – kaidah untuk dijadikan untuk dijadikan bahan
pembinaan hukum nasional. Berbagai asas dapat dikembangkan melalui
jurisprudensi peradilan agama, karena asas – asas ini dirumuskan dari keadaan
konkret di tanah air kita, sehingga dapat lebih mudah diterima.
Konsep pengembangan hukum Islam,
secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya serta politik dan
hukum dalam masyarakat. Kemudian, konsep tersebut lalu diubah arahnya yaitu
secara kualitatif diakomodasikan dalam berbagai perundang – undangan yang
dilegaslasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan
ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi hukum Islam ke dalam bentuk
perundang – undangan.
Transformasi hukum agama menjadi
hukum nasional terjadi juga di beberapa negara muslim seperti Mesir, Syria,
Irak, Jordania dan Libya. Yang berbeda adalah kadar unsur – unsur hukum Islam
dalam hukum nasional negara – negara yang bersangkutan. Di negara – negara
tersebut, hukum nasional mereka merupakan percampuran antara hukum barat dan
hukum Islam, sementara di Indonesia, hukum nasional di masa yang akan datang
akan merupakan perpaduan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat.
D.
Kontribusi Hukum Islam Terhadap
Perkembangan Hukum Nasional
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem hukum
yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar
subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam,
yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan
warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia.
Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional kita.
Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran
bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus
menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber
pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan
hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya.
Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan
antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda
dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,[1][48] seperti terlihat dalam sebagian
kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita
nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi
pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem
hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia,
sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi
pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum
nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar
dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan
hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
a.
Undang-undang
yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat dan UU Otonomi Khusus
nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung
maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya.,
atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas
kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b. Jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan
memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
c. Kesadaran
umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan
masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka
menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
d. Politik
pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi
Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam
konstalasi hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya
hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan
pada bab sebelumnya.
Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di
Indonesia nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti
terlihat dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin
memperkokoh Hukum Islam:
a.
Undang-Undang
Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari
1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
b.
Undang-Undang
Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29
Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret
2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006. tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya
kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di
bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan
Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang
berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai
53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi
tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada
pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi
syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di
dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008,
tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah,
menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya,
agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan
penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud
Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796
Pasal.
c.
Undang-Undang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13
Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini
mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan dibentuknya Komisi Pengawasan
Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci
tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut
diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih
baik.
d.
Undang-Undang
Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23
September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
e.
Undang-Undang
Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No.3893).
f.
Undang-Undang
Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus
2001. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4134).
g.
Kompilasi
Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di
Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang
dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu
diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum
Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan
Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar
yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal
10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan
instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
h.
Undang-undang
tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006
ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan
peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah
dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan
yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari
berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
i.
Undang-Undang
Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam
di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal
alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah
(hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan),
dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah
Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat
penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi
setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang
memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal
al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu,
jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at
Islam.
j.
Undang-undang
Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang
perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel sistem banking di
Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem
perbankan dengan peranti akad-akad yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejarah perbankan secara faktual telah
mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004 telah
berkembang pesat perbankan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
(selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun 2008) tentang Perbankan Syariah
menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Akad-akad dimaksud antara lain adalah :
wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah muntahiya bit-tamlik,
murabahah, salam, istishna'I, qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan
prinsip syariah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
hukum Islam bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang beragama
Islam, dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam juga
berlaku terhadap umat Islam di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan
dalam hukum Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan
terlebih dahulu dengan karakter bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945.
Hukum Islam di Indonesia telah
mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.
Pasang surut tersebut adalah perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan
bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah
produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa
reformasi merupakan fakta yang menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum
Islam telah menjadi hukum yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Hukum Islam berkedudukan sebagai
salah satu hukum yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional. Beberapa
hukum Islam yang telah melekat pada masyarakat kemudian dijadikan peraturan
perundang – undangan. Dengan adanya peraturan – peraturan perundang – undang
yang memiliki muatan hukum Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki
landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah – masalah perdata.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa prospek penerapan hukum Islam di Indonesia cukup cerah.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada berbagai
kenyataan positif, antara lain:
1. Berbagai
kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah selaku penyelenggara Negara yang memberi
peluang bagi berperannya hukum Islam.
2. Telah
terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang membuat hukum Islam
menjadi lebih eksis sebagai sub sistem dalam sistem hukum nasional.
3. Adanya
upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat Islam dan pakar hukum Islam
melalui dakwah dan pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan
kualitas iman juga kesadaran untuk melaksanakan secara hukum secara maksimal.
Sekian semoga bermanfaat bagi semuanya, jazakumullah
khairal jaza.
B.
Saran
Sebagai saran, diharapkan untuk
perkembangan hukum Islam selanjutnya dapat dikeluarkan lagi peraturan perundang
– undangan mengenai apa yang belum ada sebelumnya. Sebagai contoh, anak adopsi.
Islam tidak mengenal adanya anak adopsi, yang ada hanyalah anak asuh. Yang
mengenal soal pengangkatan anak hanyalah hukum barat dan hukum adat. Bila
peraturan mengenai adopsi / asuh dikeluarkan menurut hukum Islam maka akan
menimbulkan kepastian hukum bagi anak – anak asuh / adopsi maupun orangtuanya.
Selanjutnya adalah mengenai
perkawinan antar agama yang belum diatur dengan gamblang di Undang – Undang
Perkawinan. Seharusnya, dimuat aturan yang jelas mengenai laki – laki muslim
yang diperbolehkan menikah dengan perempuan non muslim, atau perempuan muslim
yang diharamkan menikah dengan laki – laki non muslim. Selama ini karena
peraturannya tidak ada maka banyak orang memilih untuk menikah di luar negeri.
Bila peraturannya ada, maka batas antara larangan dan bukan akan terlihat
jelas.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Ali,
Muhammad Daud, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, Makalah
disampaikan pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, tanggal 17 Mei 1995.
_________________,
Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah,
1984).
_________________, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam
di Indonesia. Edisi
Revisi (Jakarta: Rajawali Press, 1998).
_________________, Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta: Rajawali
Press, 1997).
Didi Kusnadi. Hukum Islam di
Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan
Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010.
Rafiq,
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia (Cet I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995)
Rasdiyanah,
Andi, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah
Disampaikan pada upacara Pembukaan Seminar Nasional tentang Kontribusi Hukum
Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan,
UII-Yogyakarta, 2 Desember 1995.
Speyoeti,
Zarkowi, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional, Makalah
disampaikan pada Seminar Konsep Keadilan dalam Perspektif Hukum, IAIN
Sunan Ampel Gunungjati-Bandung, 16 Mei 1994.