MAKALAH KEBIJAKAN PUBLIK
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara
dalam Ilmu Administrasi Negara tidak pernah lepas dari pembicaraan tentang
Kebijakan Publik. Ini memang dikarenakan Kebijakan Publik merupakan kajian
utama dari Ilmu Administrasi Negara. Lalu apakah yang dimaksud dengan Kebijakan
Publik?
Chandler
& Plano (1982) dalam kamus “wajib” Ilmu Administrasi Negara, The Public
Administration Dictionary, mengatakan bahwa: “Public Policy is
strategic use of reseorces to alleviate national problems or governmental concerns”.
Secara sederhana dapat diartikan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan
yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik
atau pemerintah. Chandler & Plano lalu membedakannya atas empat bentu,
yakni: regulatory, redistributive, distributive, dan constituent.
Dalam bukunya
Harbani Paolong (Teori Administrasi Publik: 2007) terdapat beberapa pengertian
Kebijakan Publik dari beberapa ahli. Thomas R Dye (1981), mengatakan bahwa
kebijakan publik adalah “apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan”. William N Dunn (1994), mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh
lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan,
seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan
masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.
Sementara
itu, Shiftz & Russel (1997) mendefinisikan kebijakan publik dengan
sederhana dan menyebut “is whatever government dicides to do or not to do”.
Sedangkan Chaizi Nasucha (2004), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah
kwenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang digunakan ke dalam
perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika
sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar
tercipta hubungan sosial yang harmonis.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian Kebijakan Publik
2. Peran dan Fungsi Pemerintah Daerah
3. Kebijakan Publik Daerah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan public
Menurut
Fadilah Putra (2001), kebijakan publik adalah sesuatu yang dinamis dan kompleks
bukannya sesuatu yang kaku dan didominasi oleh para pemegang kekuasaan formal
semata, namun kebijakan publik kembali ke makna dasar demokratiknya, yaitu
kebijakan yang dari, oleh dan untuk publik (rakyat).
Sejak
lahirnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, yang disempurnakan dengan Undang-Undang
proses desentralisasi menghendaki kekuasaan terdistribusi hingga ke lapisan
bawah di masyarakat. Menurut Sudantoko (2003) Desentralisasi menjanjikan banyak
hal bagi kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat di tingkat lokal.
Menurut
Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25
tahun 1999, pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah
tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak menguasai
dengan penuh, namun hanya sebatas memberi arahan, memantau, mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian setiap kebijakan
nasional harus diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Implementasi tidak
hanya dalam bentuk menterjemahkan kebijakan dalam suatu pedoman teknis, tetapi
juga dengan memperhatikan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Persepsi
dalam manajemen pemerintah daerah, secara umum diartikan sebagai respon
pemerintah daerah terhadap perubahan yang terjadi, dan hal ini tergantung pada
perhatian dan kebutuhan-kebutuhan, serta tujuan-tujuan dari manajer itu sendiri
(Shortell, 1988). Bagi organisasi pemerintah daerah, pemahaman terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi tersebut dapat dilakukan melalui empat
pendekatan sebagai berikut:
- Melakukan motivasi kepada para anggota, baik perorangan maupun dalam kelompok, untuk menumbuhkan kesamaan persepsi, kebersamaan, mengurangi konflik, meningkatkan semangat kerja, dan menyusun kekuatan yang dimiliki.
- Melakukan penguasaan tehnik operasional dalam rangka mencapai produktivitas, efisiensi, peningkatan mutu, dan orientasi terhadap pelanggan.
- Menyusun kembali bentuk organisasi yang cocok dan sesuai dengan lingkungan kebutuhan, tantangan, maupun peluang yang dihadapi.
- Memiliki wawasan jauh ke depan, dan mengembangkan pola pikir strategi, pro-aktif, kreatif dalam menyongsong masa depannya (Shortell, 1988).
Konstruksi
tentang persepsi sebagaimana terurai di atas, pada akhirnya harus menyadari
pentingnya pemahaman atas ”persepsi sosial” dan ”persepsi selektif” Kepentingan
pemahaman terhadap persepsi sosial dikarenakan kita hidup dalam suatu
organisasi, sedangkan kepentingan pemahaman terhadap persepsi selektif karena
kita harus mampu bersikap kritis terhadap besarnya informasi dan data yang
masuk. Persepsi sosial dan persepsi selektif lebihlanjut dapat diuraikan lebih
lanjut.
Persepsi
sosial secara umum dapat dibagi dalam tiga aspek, yaitu aspek atribusi,
stereotype dan hallo effect.
- Aspek Atribusi: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan obyek dalam kondisi sebab akibat. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat yang cenderung lunak terhadap wanita, dikarenakan semua anaknya adalah wanita.
- Aspek Stereotype: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan obyek dalam kondisi beberapa kategori. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat dilihat dari kategori suku, akan menghasilkan interpretasi bahwa pejabat dari suku batak dinilai kasar dan pejabat dari suku sunda dinilai lebih halus. Namun jika dilihat dari kategori ketegasan, akan menghasilkan interpretasi bahwa pejabat dari suku batak dinilai lebih tegas.
- Aspek Hallo Effect: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan sifat tunggal saja. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat dilihat hanya dari sifat rajinnya saja, sehingga sifat-sifat lain tidak diperhitungkan.
Sebagaimana
didalam persepsi sosial, maka didalam persepsi selektif terdapat beberapa aspek
yang perlu diperhatikan, antara lain adalah aspek karakteristik, situasi, kebutuhan,
dan emosi.
- Aspek Karakteristik: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria diri sendiri. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sangat kritis, cenderung akan memiliki persepsi mitra kerjanya juga memiliki sikap kritis.
- Aspek Situasi: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria situasi. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang terdesak waktu untuk menyelesaikan tugas, cenderung akan memiliki persepsi yang dipengaruhi oleh keterbatasan waktu sehingga terkadang berpotensi mengabaikan beberapa prosedur yang biasanya dilakukan.
- Aspek Kebutuhan: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria kebutuhan. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang membutuhkan data pembanding untuk menyelesaikan tugas, cenderung akan memiliki persepsi ang dipengaruhi oleh kebutuhan akan data tersebut sehingga berpotensi kurang teliti dalam penggunaan data.
- Aspek Emosi: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria emosi. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang dalam kondisi emosional oleh suatu sebab, cenderung akan memiliki persepsi bahwa peraturan organisasi yang ada sangat buruk.
B. Fungsi
dan Peran Pemerintah Daerah
Pemerintah
selaku pemegang kekuasaan eksekutif dibedakan dalam dua pengertian yuridis,
yakni:
- Selaku alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara yang kekuasaannya melekat pada kedudukan seorang kepala negara.
- Selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas penyelenggaraan pemerintahan atau selaku administrator negara (pejabat atau badan atas usaha negara)
Lebih jauh
berkaitan dengan birokrasi publik di Indonesia, Miftah Thoha (Miftah Thoha,
2000: 4-5) memberikan catatan tentang restrukturisasi dan reposisi birokrasi
publik. Sekurangnya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek
penegakan demokrasi, aspek perubahan sistem politik, dan aspek perkembangan
teknologi informasi.
- Aspek Penegakan Demokrasi: Prinsip demokrasi yang paling urgen adalah meletakkan kekuasaan pada rakyat dan bukan pada penguasa. Oleh karena itu struktur kelembagaan pemerintah yang disebut birokrasi tidak dapat lepas dari kontrol rakyat. Wujud kekuasaan dan peran rakyat ialah bahwa pada setiap penyusunan birokrasi harus berdasarkan undang-undang. Berdasarkan undang-undang, rakyat terlibat dalam mendesain dan menetapkan lembaga-lembaga pemerintahan atau birokrasi di pusat maupun di daerah.
- Aspek Perubahan Sistem Politik: Era reformasi saat ini sungguh menghadapi persoalan kondisi mental, sikap dan perilaku politik warisan rezim terdahulu terutama dalam kerangka single majority Golongan Karya. Pada masa orde baru semua posisi jabatan dalam organisasi publik ditempati oleh kader-kader Golkar. Oleh karena itu tidak dapat dibedakan manakah yang “birokrat tulen” dan manakah “birokrat partisan” Struktur organisasi publik berkembang antara pejabat birokrasi dan pejabat politik. Semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan nonkarier, antara jabatan birokrasi dan jabatan politik.
- Aspek Perkembangan Teknologi Informasi: Kemajuan jaman dan perubahan global telah menjadikan cara kerja suatu birokrasi dengan menggunakan teknologi informasi. Cara demikian telah menciptakan “birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas” Berdasarkan kondisi demikian, maka tatanan organisasi akan berubah menjadi lebih pendek dan ramping. Sesuai dengan asas demokrasi, kewenangan birokrasi menjadi tidak hanya berada pada tataran penguasa melainkan tersebar dimana-mana (decentralized). Birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas telah menjadikan birokrasi tidak lagi secara tegas mengikuti garis hirarki. Struktur organisasi bersifat ad-hoc, komite, dan matrik akan menjadi model organisasi mendatang, yang sering disebut sebagai organisasi struktur logis (logical structure).
Pada suatu
pemerintahan terdapat fungsi legislasi. Fungsi legislasi secara umum adalah
fungsi untuk membuat peraturan perundang-undangan atau pembuatan kebijakan.
Mengacu pada pengertian ini, kewenangan legislasi sebenarnya tidak hanya
dimiliki oleh parlemen (DPR/DPRD), tetapi juga oleh institusi-institusi lain
seperti eksekutif serta yudikatif. Akan tetapi kajian modul ini hanya akan
berfokus pada peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses
penyusunan Peraturan Daerah (Perda).
Sesuai dengan
UU nomor 22 tahun 2003 (tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah), DPRD merupakan sebuah lembaga perwakilan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota. Dalam
UU nomor 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan DPRD sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan di daerah. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan di daerah atau
unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi,
anggaran dan pengawasan.
Untuk fungsi
legislasi sendiri, terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur
pelaksanaan fungsi ini, antara lain:
- Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD
Fungsi
legislasi dari DPRD adalah bersama-sama dengan Kepala Daerah membuat dan
menetapkan Perda, yang berfungsi sebagai:
1. Perda
sebagai arah pembangunan
Sebagai
kebijakan publik tertinggi di daerah, Perda harus menjadi acuan seluruh
kebijakan publik yang dibuat termasuk didalamnya sebagai acuan daerah dalam
menyusun program pembangunan daerah. Contoh konkritnya adalah Perda tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) atau Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA).
2. Perda
sebagai Arah Pemerintahan di Daerah
Sesuai dengan
Tap MPR Nomor XI tahun 1998 serta UU Nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, maka ditetapkan
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Dalam
penerapan asas tersebut untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih
dan bebas dari KKN, maka asas-asas tersebut merupakan acuan dalam penyusunan
Perda sebagai peraturan pelaksanaannya di daerah.
Fungsi
penganggaran merupakan salah satu fungsi DPRD yang diwujudkan dengan menyusun
dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bersama-sama
pemerintah daerah. Dalam melaksanakan fungsi penganggaran tersebut DPRD harus
terlibat secara aktif, proaktif, bukan reaktif, dan bukan hanya sebagai lembaga
legitimasi usulan APBD yang diajukan pemerintah daerah.
Fungsi
penganggaran memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat, karena APBD yang dihasilkan oleh fungsi penganggaran DPRD
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. APBD sebagai
fungsi kebijakan fiskal
Sebagai
cerminan kebijakan fiskal, APBD memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu:
- Fungsi alokasi
Fungsi
alokasi mengandung arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan lapangan
kerja/mengurangi pengangguran, mengurangi pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. APBD harus dialokasikan
sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan.
Fungsi
distribusi
Fungsi
distribusi mengandung arti bahwa kebijakan APBD harus memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan. Jika fungsi distribusi APBD berjalan dengan baik, maka
APBD dapat mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal.
- Fungsi stabilisasi
Fungsi
stabilisasi mengandung arti bahwa APBD merupakan alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
2. APBD sebagai
fungsi investasi daerah
Dalam
pandangan manajemen keuangan daerah, APBD merupakan rencana investasi daerah
yang dapat meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena
itu, APBD harus disusun sebaik mungkin agar dapat menghasilkan efek ganda
(multiplier effect) bagi peningkatan daya saing daerah yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan.
3. APBD sebagai
fungsi manajemen pemerintahan daerah
Sebagai
fungsi manajemen pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi sebagai pedoman kerja,
alat pengendalian (control), dan alat ukur kinerja bagi pemerintah daerah.
Dengan kata lain, dipandang dari sudut fungsi manajemen pemerintah daerah, APBD
memiliki fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan. Dalam penjelasan PP
Nomor 58/2005, fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan didefinisikan
sebagai berikut:
- Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
- Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
- Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Uraian di atas
memberikan gambaran jelas bahwa fungsi penganggaran memiliki peranan yang
sangat penting dalam pembangunan daerah. Selain itu, fungsi penganggaran yang
baik mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Pengawasan adalah mutlak diperlukan, sebab pengawasan merupakan
salah satu kegiatan dalam rangka upaya pencegahan. Jadi norma pengawasan harus
benar-benar diatur secara rinci, sistematis, dan jelas, baik menyangkut
instansi/pajabat pangawas, obyek pengawasan, prosedur (tata cara), koordinasi,
persyaratan, dan akibat pengawasan.
C.
C. Kebijakan Publik Daerah
1. Proses Kebijakan Publik Daerah
Beberapa kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat,
seperti Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kota Depok,
Kabupaten Indramayu, Kota Banjar maupun kabupaten/-kota/pro-vinsi lainnya,
mulai bergelut kembali memilih pimpinan daerahnya secara langsung. Melalui
proses pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang demokratis diharapkan
dapat melahirkan kepala daerah yang memiliki legitimasi yang kuat yang pada
akhirnya responsif dan peka terhadap kebutuhan rakyat. Hal itu terungkap dengan
munculnya fakta, janji-janji politik yang disampaikan oleh para kandidat kepala
daerah, setelah terpilih menjadi pimpinan daerah, ternyata kurang direspons
secara optimal dalam bentuk kebijakan publik bagi kepentingan rakyat. Malah
yang terjadi adalah menjangkitnya politik uang dan korupsi dalam proses
formulasi dan implementasi kebijakan serta terabaikan janji-janji politik yang
dimaklumatkan pada saat kampanye. Menurut pandangan penulis, hal itu disebabkan
oleh beberapa hal.
Pertama, ketidaksiapan kepala daerah dan pemangku
kepentingan di daerah dalam menghadapi terjadinya perubahan pada sistem
perumusan kebijakan publik. Ketidaksiapan tersebut tergambar dari lemahnya
ketrampilan negosiasi dan kemampuan melakukan kompromi secara jujur dan arif
dari kepala daerah dengan semua pemangku kepentingan di daerah. Padahal,
demokrasi mengakibatkan sistem interaksi dalam proses kebijakan publik menjadi
terpencar dan bukannya terpusat lagi (Hill,2005). Kepala daerah dan perumus
kebijakan harus menyadari dan bekerja keras dalam proses kebijakan publik untuk
melahirkan konsensus kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan bukan untuk
kepentingan diri dan kelompok.
Kedua, orientasi kepala daerah dan pembuat kebijakan (baca:
perwakilan rakyat alias anggota DPRD) tidak sepenuhnya untuk kepentingan
rakyat. Hal itu karena kepala daerah dan perumus kebijakan tidak paham tujuan
esensial dari pemilihan sistem yang demokratis. Demokrasi bukan untuk melayani
elite politik yang berjasa di saat kampanye dengan kepentingan-kepentingan yang
sempit, tetapi melayani kepentingan masyarakat.
Ketiga, sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dan
pemilukada yang terjadi untuk menciptakan pemerintahan daerah yang otonom dan
pemimpin daerah yang sah dan kuat di mata masyarakat, tidak serta-merta mendorong
kepala daerah dan pembuat kebijakan di daerah secara leluasa menyusun kebijakan
publik di daerah. Hal itu karena adanya berbagai aturan baik dalam bentuk UU
maupun peraturan pemerintah yang berlaku dalam sistem politik di Indonesia.
Seperti adanya Undang-Undang tentang Pembangunan Nasional (UU No. 25/2004).
Implikasinya, daerah harus memiliki RPJMD dan RPJPD yang mempersyaratkan bahwa
daerah dalam merencanakan program pembangunannya harus sesuai dengan tujuan
pembangunan nasional yang ada, baik dalam RPJPN maupun RPJMN. Kepala daerah dan
pembuat kebijakan di daerah tidak begitu saja dapat melaksanakan pembangunan
sesuai dengan keinginan yang dijanjikan dalam kampanyenya kepada masyarakat.
Akan tetapi, harus berdasarkan RPJPN dan RPJMN yang digariskan oleh pemerintah
pusat. Oleh karena itu, kepala daerah terpilih harus jelas membeberkan visinya,
dengan rencana strategis nasional maupun daerahnya agar nyambung.
2. Langkah perbaikan
Dalam praktik sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan perlu mengambil langkah-langkah
sebagai berikut.
Pertama, kepala daerah dan perumus kebijakan perlu dibekali
kemampuan dalam hal keterampilan komunikasi dan negosiasi selain tuntutan
keterampilan profesional dan teknis yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan
publik. Dalam proses kebijakan publik yang demokratis, mereka harus siap untuk
dapat mengakomodasi secara arif dan bijaksana beragam kepentingan dan
kedudukan.
Kedua, untuk mengatasi fenomena proses pembuatan kebijakan
publik yang berorientasi kepada kepentingan elite parpol dan pengusaha yang
memberi modal, langkah yang ditempuh adalah sedari awal platform dari partai
politik harusnya juga memperhatikan relevansinya dengan pembuatan kebijakan
publik bagi kepentingan rakyat. Pemilukada bukan merupakan proses demokrasi
yang bersifat prosedural atau ritual semata tetapi esensi substansinya setelah
proses tersebut, yakni apa yang dibuat dalam kebijakan publik harus berasal
dari rakyat, bersama rakyat, dan untuk rakyat.
Langkah ketiga, calon kepala daerah dan elite politik dalam
parpol perlu peka dan menyikapi atau responsif terhadap tuntutan sinergi
pembangunan yang dilakukan di daerah dengan program pembangunan yang
dicanangkan pemerintah pusat. Oleh karena itu, janji-janji politik yang dibuat
harus juga melihat berbagai visi, misi, dan orientasi kebijakan yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat, selain memperhatikan potensi di daerah dan
aspirasi masyarakat daerah. Selanjutnya kepala daerah tidak usah ragu meminta
bantuan fasilitasi para pemikir di bidangnya agar kebijakan yang dilaksanakan
berkualitas bagi kesejahteraan rakyat dan daerah otonomya.